Siapa yang Memiliki Tanah?

Perjuangan Petani di Indonesia

Bahasa Inggris

Bahasa Jerman

Pada Desember 2008, sekitar 500 polisi dan preman bayaran menyerang Suluk Bongkal, sebuah dusun di Provinsi Riau, dan mengusir para penduduknya. Dua helikopter militer membombardir dusun itu dengan bom napalm hingga menghanguskan 700 gubuk. Dua anak tewas, 200 orang ditangkap, dan sebagian lainnya berhasil meloloskan diri. Perusahaan Sinar Mas adalah pihak yang memerintahkan serangan ini.

Di Indonesia hanya sebagian kecil tanah yang memiliki sertifikat kepemilikan – di pulau utama, Jawa, jumlahnya sekitar sepertiga dari total tanah; di pulau-pulau lain jumlahnya lebih sedikit lagi. Ada ratusan, kalau bukan malah ribuan, pertikaian, namun tidak banyak yang diketahui publik.. Orang-orang terbunuh (pada paruh pertama tahun 2011, sekurangnya ada tujuh korban) atau terluka. Juga banyak orang ditangkap. Namun, semua perjuangan ini terbatas hanya pada tingkat lokal dan hampir tidak ada pertautan langsung di antara perjuangan-perjuangan ini.

1610: Verenigden Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan pangkalan dagangnya yang pertama di Ambon.

1619: VOC menaklukkan Batavia (kini bernama Jakarta). VOC memonopoli perdagangan dan memaksa raja-raja di bawah kekuasaannya dengan cara mengadu domba mereka.

1800: VOC bangkrut. Negara Belanda pun mengambil alih pemerintahan kolonial dalam arti langsung.

1811: Negara Inggris menaklukkan Batavia dan Jawa selama Sistem Kontinental yang dirancang untuk menghadapi Napoleon, hal mana menyebabkan penguatan pasukan (Belanda) menjadi tidak mungkin.

1814: Inggris mengembalikan pemerintahan kepada Belanda, hal mana ditegaskan pada saat berlangsungnya Kongres Vienna.

1830: Sistem tanam paksa (gula, kopi) diberlakukan.

1924: Partai Komunis Indonesia terbentuk.

1942: Jepang menduduki sebagian besar wilayah kontemporer Indonesia.

1943: Pemerintahan militer Jepang memperkenalkan sistem kerja paksa yang mengakibatkan ratusan ribu orang dibawa paksa ke berbagai negeri di Asia.

1945: Masih dalam masa pendudukan Jepang, Republik Indonesia didirikan.

1945: Negara Belanda menaklukkan Batavia; perang pembebasan nasional berlangsung sampai tahun 1949 (pihak Republik berperang terutama dengan menggunakan persenjataan yang ditinggalkan tentara Jepang).

1950: Indonesia menjadi anggota Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

1965: Sebuah kudeta militer membawa Soeharto ke tampuk kekuasaan. Dalam beberapa bulan setelah kudeta itu, ratusan ribu orang ‘komunis’ dibantai, terutama di perdesaan.

1998: Soeharto tumbang pada puncak ‘Krisis Asia’.

1998 sampai 2001: Masa yang disebut 'Reformasi'. Indonesia menjadi negeri yang relatif ‘bebas’ dan sejarah era orde baru pun ditinjau ulang secara publik – namun gerakan ini kemudian kehilangan momentum, sebagian karena elit-elit lama kembali berhasil menancapkan pengaruhnya.


Dominasi, Eksploitasi, Perampasan Tanah – Rangkuman Singkat Sejarah Petani


Indonesia barangkali adalah surga: iklim tropis, tanah yang subur, air yang berlimpah. Ini bisa jadi adalah salah satu alasan mengapa di masa feodalisme prakolonial, tak pernah terpikirkan pada masa itu bahwa ‘tanah bisa dimiliki oleh seseorang’. Feodalisme dicirikan dengan adanya relasi-relasi kekuasaan dan dominasi yang bersifat personal dan langsung. Untuk menegakkan relasi-relasi ini, rezim feodal membutuhkan ideologi (agama) dan senjata yang hanya tersedia bagi salah satu pihak.


Di Eropa, sebagai peninggalan Kekaisaran Romawi, dulu selalu ada kaitan yang erat antara penguasa/yang dikuasai dan ‘tanah mereka’ – kendati juga terjadi migrasi massal dan banyak pengusiran akibat perang, pertikaian, dan lain-lain. Petani bekerja menggarap ‘tanahnya’ dan terus saja begitu – pada dasarnya – bahkan ketika majikan berganti sekalipun. Petani membayarkan kepada si majikan sebagian dari apa yang telah dia cabut dari tanahnya, suatu pajak tanah, misalnya dalam bentuk derma kepada biara.


Di Indonesia, seorang tuan tanah tidak memiliki tanah; dia memiliki petani-petani dan rombongan pengiring. Para petani dan rombongan pengiring ini harus membayar pajak kepala. Bila raja menjatahkan sebuah wilayah baru kepada salah satu bawahannya, maka bawahannya itu akan membawa serta 'para petaninya' dan mengusir penduduk dari wilayah yang dialokasikan tersebut. Kemudian tanah itu dijatahkan kepada individu-individu petani agar mereka bisa menghasilkan pajak kepala mereka (Onghokham, 11f). Tidak ada gagasan tentang tanah sebagai hak milik (properti), baik di kalangan penguasa maupun kalangan orang-orang yang dikuasai. Karena kepadatan penduduk ketika itu masih rendah, maka selalu mungkin bagi orang-orang untuk mengakses tanah di suatu tempat lain.


Pajak kepala dibayarkan per desa dan kepala desa harus memastikan bahwa kondisi-kondisi memungkinkan untuk menghasilkan pembayaran pajak. Pengairan sawah biasanya merupakan upaya bersama seluruh elemen masyarakat di desa ketika itu; juga seluruh tanah diatur secara sama, yakni oleh kepala desa. Dalam beberapa kasus, tanah dijatah ulang (direalokasi) setelah tiap panen; dalam kasus-kasus lainnya, tanah baru dijatah ulang bila “pemilik” sebelumnya meninggal dunia (Kano, 60).1


Gagasan kepemilikan tanah diperkenalkan oleh kekuasaan kolonial. VOC Belanda hanya menguasai secara langsung sebagian kecil dari total tanah. VOC memaksa tuan-tuan tanah untuk membayar pajak sehingga, pada awalnya, keadaan tidak banyak berubah—selain kenyataan bahwa eksploitasi terhadap petani meningkat. Baru Inggris yang kemudian (selama periode Sistem Kontinental 1806-1814) memperkenalkan hukum Barat dan ide tentang kepemilikan tanah. Mereka menyerahkan seluruh tanah kepada negara—berarti kepada kelas feodal—yang pada gilirannya dapat menyewakannya kepada kepala-kepala desa yang kemudian menyewakannya kepada petani (Vlekke, 300). Belanda kemudian mengambil kembali tanah itu dari para tuan tanah dengan menganugerahkan sejumlah kecil uang kepada mereka – para tuan tanah itu hampir-hampir tidak mengerti apa sesungguhnya yang mereka jual. Akibat hal tersebut, para kepala desa dan pejabat lokal (bupati) menjadi kaya, sedangkan massa petani menjadi melarat. Banyak orang mati selama masa kelaparan dan wabah penyakit yang mengerikan. Para petani tidak menerima keadaan ini begitu saja, melainkan melawan – dengan cara melarikan diri ataupun ambil bagian dalam pemberontakan. Sepanjang abad 18 dan 19, hampir ‘setiap tahun’ terjadi pemberontakan petani lokal (Mustain, 125). Tidak seperti di Filipina, misalnya, di Indonesia kepemilikan tanah pribadi tak pernah berkembang. Karena itu, di penghujung era kolonial Republik Indonesia mewarisi properti tanah yang ‘dinasionalisasi’ dalam jumlah yang sangat besar. 2


Republik muda ini pertama-tama mengambil alih hukum dari penguasa kolonial, lalu ditambahi dengan asas ‘tanah untuk penggarap’. Tuan tanah yang tidak menempati tanahnya dicabut hak kepemilikan tanahnya, namun sebenarnya nyaris tidak ada tanah yang benar-benar di-redistribusi. Pada tahun 1960, undang-undang (UU) ‘reforma agraria’ (land reform) membatasi kepemilikan tanah pribadi dan memberikan hak kepada setiap petani atas tanah. Pada dasarnya, UU tersebut masih ada sampai saat ini, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Namun demikian, jutaan petani miskin yang diorganisasikan dalam front tani Partai Komunis Indonesia (PKI) sering kali langsung melakukan sendiri redistribusi tanah itu. Pembantaian ‘kaum komunis’ setelah kudeta militer pada tahun 1965/66 sebagian besar adalah pembantaian para petani miskin oleh para tuan tanah kaya yang khawatir akan kehilangan properti tanah mereka. Masa kediktatoran di bawah pimpinan Soeharto berusaha mendesakkan sebuah 'revolusi hijau' atas perkebunan-perkebunan negara, namun tidak begitu berhasil. Perkebunan negara bukan hanya menguasai properti tanah negara lama, tetapi juga menyerobot tanah petani, khususnya tanah para petani ‘komunis’ yang tidak berani melawan. Menurut Abdurrahman Wahid, presiden Indonesia pada tahun 2000, sekitar 40 persen properti perkebunan negara itu didapat dari merampasnya dari para petani miskin (Dunia Dalam XX, 14). Kemiskinan di perdesaan negeri ini tidak berkurang.


Pada tahun 2000, sekitar 42 juta keluarga di Indonesia (sekitar 124 juta orang) terdata sebagai petani. Sekitar 10 juta dari keluarga-keluarga petani ini tidak punya tanah sama sekali, sedangkan 10 juta keluarga lainnya hanya memiliki tanah kurang dari setengah hektar. Dari 190 juta hektar bidang tanah, petani memiliki 8 juta hektar, sedangkan perkebunan negara memiliki 23 juta hektar (FMN). Sejak tahun 2000, suatu pihak ketiga–yang sebelumnya tidak begitu penting–telah berkembang: perkebunan kapitalis swasta. Ini terutama adalah perkebunan kelapa sawit. Diperkenalkan ke Indonesia sekitar 100 tahun yang lalu, tanah paling subur untuk tanaman ini adalah lahan gambut yang artinya adalah areal hutan hujan yang baru saja dibabat (dibuka). Pada tahun 1995, kelapa sawit ditanam di lahan seluas satu juta hektar. Sekarang ini areal yang ditanami kelapa sawit telah bertambah menjadi lebih dari enam juta hektar. Tak ada yang benar-benar tahu berapa hektar hutan hujan yang telah dibabat untuk perluasan ini, namun sudah merupakan fakta pasti bahwa ada konsesi-konsesi terbuka untuk pembukaan 41 juta hektar hutan lagi dan bahwa kendati baru-baru ini telah ditetapkan ‘moratorium pembukaan hutan’, mereka akan bisa terus membabat hutan dengan konsesi-konsesi tersebut (The Jakarta Post, 11-10-‘10).


Ada dua medan perang dalam perjuangan seputar tanah yang sebagian bertumpang tindih. Pertama, sejak jatuhnya Soeharto, banyak petani berjuang untuk merebut kembali tanahnya yang telah dirampas selama masa kediktatoran dan diserahkan kepada perkebunan negara. Banyak kasus (hukum) masih belum diputuskan. Kedua, selama beberapa tahun terakhir ini, konflik-konflik antara petani dan korporasi perkebunan swasta telah meningkat; dengan cara tertentu korporasi-korporasi itu bisa memegang hak guna dan kini mengklaim tanah petani. 

 


Hutan primer di Sumatera tahun 1900, 1960, 2000, dan 2010


Contoh Tapsel – Statistik dan Realitas


Tapanuli Selatan (Tapsel) dulunya merupakan kabupaten yang sangat kuat berciri perdesaan, penduduknya jarang, dan merupakan daerah miskin. Kabupaten ini terletak di titik sejauh 300 km selatan Danau Toba dan termasuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Sejak diberlakukannya UU 'Otonomi Daerah' pada tahun 2004, Pemerintah Pusat hanya bertanggung jawab atas hutan-hutan primer (hutan yang masih dalam kondisi seperti saat semula ada), sedangkan pemerintah kabupaten mengatur hutan-hutan lainnya dan telah membagi-bagi konsesi kepada perkebunan-perkebunan sawit dengan agak murah hati. Korporasi-korporasi dengan jumlah yang makin meningkat pun memasuki kabupaten ini dan membeli tanah dari penduduk setempat. Semula para petani setempat merasa senang mengenai hal ini karena korporasi-korporasi tersebut membayar tanah yang sebelumnya hanya bernilai kecil bagi mereka. Sebenarnya para petani tidak mendapat uang dalam jumlah besar atas tanah mereka, namun jumlah itu lebih banyak daripada yang pernah mereka lihat sepanjang hidup mereka. Disebutkan bahwa bahkan sempat ada kasus-kasus demonstrasi para petani yang tanahnya tidak dibeli.


Dalam kebanyakan kasus, korporasi-korporasi perkebunan beroperasi dengan menggunakan nama lokal. Biasanya hak guna dari bupati diperluas secara diam-diam sampai ke hutan tetangga. Jika Kementerian Kehutanan mengetahui pelanggaran ini, korporasi tersebut langsung mengubah namanya. Pada saat seperti itu, hutan hujan tersebut biasanya sudah dibabat habis. Dengan demikian, pengaturan ‘lahan yang telah dibuka’ itu otomatis beralih ke bupati; atau, hutan itu akan langsung diubah menjadi 'hutan sekunder'. Sebagai contoh, Korporasi Newmont memanfaatkan bantuan dari LSM-LSM yang ‘menyelamatkan’ orang utan – atau bila perlu, harimau dan lain-lain – dengan menangkap dan memindahkan mereka ke cagar alam. Kalau sudah tidak ada lagi hewan yang perlu diselamatkan, hutan itu pun menjadi 'hutan sekunder'. Para mantan petani tersebut berusaha menggunakan uang hasil penjualan tanah mereka untuk menciptakan sumber-sumber baru bagi penghidupan mereka, hal mana sering kali gagal – bayangkan saja berapa banyak supir taksi atau penjaga toko kecil yang dibutuhkan di sebuah desa? Cepat atau lambat akhirnya mereka menjadi buruh tani di perkebunan-perkebunan itu; hanya sedikit dari mereka yang berhasil pindah ke kota.


Banyak petani tidak menjual tanah kepada korporasi, baik karena ganti ruginya terlalu kecil ataupun karena mereka tidak mau menjadi tergantung pada perkebunan tersebut. Dalam kasus seperti ini, konflik akan muncul seketika itu juga: begitu perkebunan menancapkan akarnya, bentuk-bentuk pertanian yang lain pun menjadi tidak mungkin. Tidak mungkin menanam padi di sekitar perkebunan sawit – semua hama, terutama tikus, akan mengganyang ladang-ladang yang tersisa (lihat: Situmorang1). Dengan demikian, para petani sendiri terpaksa menanam sawit.


Protes para petani dan mantan petani dibendung oleh kekuatan gabungan kapital, negara, dan gereja (dalam hal ini, Gereja Kristen Batak Protestan). Suatu iklim intimidasi fisik dan mental telah diciptakan. Tapanuli Selatan yang sebelumnya tenang, terbelakang, dan miskin, kini terbagi menjadi tiga wilayah; ada hotel-hotel, tiga bandara, dan sebuah pangkalan satuan polisi brigade mobil (brimob). Lelaki yang melaporkan situasi di Tapsel ini adalah seorang aktivis serikat buruh dan gerakan lingkungan yang berpengalaman di Sumatera Utara. Keluarganya masih tinggal di sana di sejengkal tanah mereka sendiri. Sekarang ini dia tidak melihat adanya peluang untuk membangun sebuah gerakan protes terbuka. Karena itu, dia ingin menyikapi isu ini dari sudut pandang berbeda: produktivitas kerja para petani tersebut sangat rendah. Dia berpikir bahwa jika para petani menjadi tidak terlalu miskin, mereka akan lebih cenderung tidak terjatuh ke dalam tipu daya kapital. Tahun lalu dia membawa bajak bermotor pertama ke desanya.

 

 

Contoh Persil 4, Tungkusan – Hantu-hantu Masa Lalu


Petani-petani di Desa Persil 4, yang terletak sekitar 40 km dari Medan, menjadi korban kampanye anti-komunis setelah kudeta Soeharto tahun 1965/66. Pada tahun 1956 tanah tersebut diserahkan kepada mereka sebagai hak milik yang sah, namun setelah kudeta tanah-tanah itu disita untuk diserahkan kepada perkebunan negara. Setelah tahun 1998, dua lelaki tetua masyarakat mulai mengeluarkan dokumen-dokumen lama tentang hak kepemilikan tersebut dan berusaha meyakinkan para petani lainnya untuk me-reklaim tanah mereka. Ini melibatkan sekitar 400 keluarga yang masing-masing mengklaim antara 0,8 sampai 2 hektare tanah. Bertahun-tahun mereka menempuh upaya untuk mencoba mengatasi ketakutan, yang ketika itu masih mencengkeram mereka, dan meyakinkan kaum muda yang telah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan tertentu di kota-kota. Mereka menempuh jalur hukum, tetapi juga memilih sebuah jalan langsung: pendudukan pertama segera berakibat pada bentrokan-bentrokan dengan para preman yang disewa oleh perkebunan negara di daerah-daerah perkotaan. Beberapa orang terluka parah – penyerangan-penyerangan itu berlangsung di bawah penjagaan banyak polisi. Represi tersebut sedikit melemahkan semangat orang-orang yang terlibat, namun juga memicu ketertarikan mahasiswa-mahasiswa sayap kiri di Medan yang sejak saat itu selalu mendukung para petani secara moral dengan kampanye-kampanye publik dan advis hukum. Setelah berbagai prosedur selama tahun-tahun yang panjang, jalur hukum yang ditempuh sebenarnya berhasil: pengadilan tinggi memberikan tanah tersebut kepada mereka dan perkebunan negara harus membayarkan kepada mereka sewa hak guna untuk keseluruhan masa sepanjang kediktatoran. Ini bukanlah akhir yang membahagiakan mengingat keputusan hukum itu harus ditegakkan dalam situasi maraknya korupsi dan kampanye anti-komunis yang menyelimuti perkebunan negara. Sejauh ini perkebunan negara belum pernah membayar sewa hak guna ataupun membolehkan masyarakat memasuki tanah itu – dengan mengatakan, mungkin benar bahwa tanah itu bukan milik perkebunan negara, tapi pohon-pohon sawitnya jelas milik perkebunan negara. Pendudukan dan bentrokan-bentrokan lebih lanjut pun terjadi setelah itu; masyarakat sendiri kemudian menyewa 'preman' – orang-orang dari desa-desa tetangga kepada siapa mereka janjikan sebagian dari hasil kemenangan yang mungkin akan diraih.

 






 

Contoh Polongbangkeng, Takalar – Kawasan-kawasan Berpagar (enclosure) 2008



Takalar di Sulawesi Selatan terletak di titik sekitar satu jam perjalanan bermobil dari Makassar. Pada tahun 1960, petani-petani telah mulai bermukim di daerah itu dan menggarap tanah. Pada tahun 1978, korporasi milik seorang politisi berpengaruh datang dan merampas lahan itu untuk dijadikan perkebunan tebu. Korporasi itu diberi izin untuk membangun sebuah pabrik gula; para petani seharusnya diberi sedikit ganti rugi. Para petani sejak awal melawan rencana itu di masa kediktatoran, namun tidak berhasil. Tetap saja hanya sedikit dari mereka yang mendapat ganti rugi. Korporasi itu menyerahkan tanah tersebut kepada sebuah perkebunan negara yang mendapat izin hak guna untuk masa 25 tahun. Pada sekitar tahun 2000, para petani kembali mulai bergerak. Ketika izin tersebut berakhir pada 2005, mereka pun menduduki bagian-bagian lahan itu dan menanaminya dengan jagung. Gerakan ini menyebar ke desa-desa lain di mana lebih banyak lagi tanah diduduki. Pada tahun 2008, bupati Takalar memperbaharui izin perkebunan negara itu untuk 4.500 hektare sampai tahun 2024. Permintaan akan gula tinggi dan harga di pasaran dunia juga tinggi, sementara jagung dan hewan ternak petani tampaknya hanya menyumbang sedikit bagi pembangunan daerah itu (sehingga hanya mendatangkan sedikit pendapatan bagi pemerintah kabupaten).

Pada Oktober 2008, pasukan brimob menembak mati empat petani yang sedang membawa hewan ternak mereka dari ladang. Sejak saat itu, situasi di desa tersebut dan daerah-daerah sekitarnya menjadi tegang. Banyak petani ingin melanjutkan gerakan tersebut dan berupaya menghalangi produksi tebu dengan aksi-aksi kecil, misalnya dengan menyabot sistem irigasi. Polisi berkali-kali datang kembali ke daerah itu dan menangkapi orang-orang. Inilah sebagian hal yang menyebabkan para petani bergerak secara 'bawah tanah' tanpa mengangkat 'pemimpin', meski jelas ada 'aktivis-aktivis setempat yang cukup diakui'. Selain itu, mereka juga sangat terbuka kepada orang-orang yang ingin mendukung mereka. Para petani mempertahankan hubungan yang sangat erat dengan kelompok antiotoritarian Kontinum dari Makassar.


Para petani ini masih punya kebun kecil di belakang rumah mereka, namun karena kebun-kebun itu tidak menghasilkan pangan atau pendapatan yang cukup, mereka pun mencari pekerjaan di Makassar (di tempat-tempat kerja bangunan ataupun menjadi tukang becak), atau mereka pergi ke Malaysia untuk bekerja musiman di perkebunan. Mereka tidak mau bekerja di perkebunan-perkebunan tebu di kampung halaman – panen di 'kampung halaman mereka' dilakukan oleh para buruh tani dari Pulau Jawa yang ditempatkan di barak-barak yang kondisinya sangat memprihatinkan.

 

 

Petani, Buruh Perdesaan, dan Kapital


Gagasan romantis bahwa pertanian tradisional yang sederhana itu produktif dan berkelanjutan hanyalah ilusi. Hampir tidak ada pertanian tradisional yang ‘berkembang pelan-pelan’: akan merupakan kasus yang sungguh bersifat kekecualian jika sebuah keluarga menggarap lahan yang sama selama lebih dari tiga generasi. Penjajahan, perang, pendudukan oleh Jepang, gerakan kemerdekaan nasional, dan kebijakan transmigrasi di masa kediktatoran telah sedikit mencampuradukkan penduduk, bahkan di perdesaan sekalipun. Akibatnya, setiap petani berusaha menghasilkan sebanyak mungkin dari tanah itu, dengan hanya menggunakan sedikit alat mekanis, namun sering kali juga menggunakan banyak pupuk kimia.


Dengan kondisi-kondisi tertentu di Indonesia, tak seorang pun benar-benar tahu berapa banyak tanah yang sebenarnya telah diubah menjadi properti kapital anonim. Di Kalimantan, misalnya, sepuluh korporasi besar yang dikenal luas (Sinar Mas, Lonsum, Indofood, Bakrie, dll.) memiliki (sebagai properti atau dengan izin hak guna) sekitar 5,3 juta hektare tanah. Selain itu, cukup banyak tanah akan masuk ke dalam genggaman korporasi-korporasi kamuflase. Dan banyak lainnya lagi yang sedang berburu tanah – untuk perkebunan, tambang (dari emas sampai batubara) – atau sebagai objek spekulasi. Pemerintah berusaha menarik minat kapital untuk membangun ‘Lahan/Properti Produsen Pangan’ yang dikembangkan relatif belum lama. Sekitar 1,6 juta hektare tanah disebut-sebut akan disediakan khusus untuk keperluan itu di Merauke, Papua Barat – produksi diperkirakan akan dimulai pada 2012. Diduga investor utamanya berasal dari Arab Saudi.


Sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, para petani – terutama lelaki dan perempuan muda – pergi ke pabrik-pabrik di kota, atau pabrik-pabrik itu (seperti di Jawa) yang datang ke wilayah pedesaan. Pilihan ini sekarang jarang ada karena hampir tidak ada pabrik tekstil atau sepatu baru yang buka. Alternatifnya, terutama untuk orang-orang yang bisa menempuh perjalanan pulang-pergi desa dan kota– adalah bekerja di proyek-proyek bangunan dan di sektor informal. Sektor informal kini sedang mengalami rasionalisasi dimensi-dimensi historis. Di tiap sudut jalan kini banyak dibuka supermarket yang ber-AC dan buka 24 jam yang menjual barang-barang yang persis sama dengan yang sebelumnya biasa dijual pedagang kaki lima: rokok, tisu, minuman, dan makanan ringan. Ribuan cabang waralaba Circle K, Indomaret, 7eleven, Alfa, dan lain-lain telah bermunculan sepanjang empat tahun terakhir ini dan bahkan telah masuk ke desa-desa. Pada tahun 2011, Carrefour sendiri saja berencana membuka 1.000 supermarket baru. Becak, yang merupakan pekerjaan klasik bagi petani-petani yang baru saja bermigrasi ke kota, kini makin banyak digantikan oleh helicak (becak bermotor). Selain migrasi musiman – para lelaki ke Malaysia dan para perempuan ke negara-negara teluk – kebanyakan petani biasanya akan menjadi buruh tani saja.

 

 


Terbitan PERBBUNI 1999. Serikat buruh sayap kiri ini sekarang sudah tidak ada.

Industrialisasi Pertanian – Factory ataukah Manufactory?


Kondisi hidup buruh perkebunan sekarang ini tidak begitu berbeda dari kondisi di masa penjajahan,” kata seorang aktivis dari Medan (Situmorang2, III). Hal ini terutama berlaku untuk perkebunan-perkebunan negara dan korporasi-korporasi perkebunan kapitalis lama, yakni London Sumatra. Perkebunan-perkebunan negara sekarang ini masih dijalankan dengan corak produksi kapitalis berupa manufactory (pabrik manufaktur): perkebunan-perkebunan itu masih bergantung pada kerja manusia, meskipun di sana-sini sebenarnya traktor bisa digunakan. Perkebunan-perkebunan di Malaysia menghasilkan 33 ton minyak sawit mentah per hektare per tahun. Perkebunan-perkebunan di Indonesia menghasilkan 24 ton dan petani kecil menghasilkan 14 ton (Protes!, 2/3 2010).


Perkebunan-perkebunan baru ini tampak sedikit lebih modern, namun itu hanya terjadi secara perlahan. Mereka juga menganggap kondisi-kondisi di perkebunan negara sebagai panduan. Hanya ada sedikit pekerja tetap, yang upahnya tidak terlalu tinggi namun setidaknya mereka mendapatkan layanan-layanan kesejahteraan sebagaimana lazimnya pekerja tetap. Ada ‘buruh tetap harian’ yang punya kontrak kerja (namun jarang sekali mengetahui apa yang tertera dalam kontrak kerjanya) dan ada ‘buruh lepas harian’ yang dipekerjakan berdasarkan kebutuhan dan musim. Dalam beberapa kasus, bisa ada sampai 100.000 buruh harian seperti ini yang dipekerjakan pada setiap perkebunan. Perkebunan-perkebunan negara telah dengan mulus mengambil alih relasi-relasi kerja dari rezim kolonial – cukup kiranya mencermati bahasanya untuk dapat melihat keberlanjutan itu: buruh harian dulu disebut ‘Annemer’, masing-masing wilayahnya disebut ‘Afdeling’, dan seterusnya.


Kediktatoran Soeharto menempatkan orang-orang yang loyal dari jajaran tinggi Angkatan Darat untuk mengurusi pengelolaan perkebunan negara, hal mana mengakibatkan perkebunan-perkebunan negara menjadi pusat korupsi. Ada kerja sama yang erat antara perkebunan negara, polisi, tentara, dan mantan serikat buruh pemerintah. Serikat-serikat buruh sayap kiri cukup berhasil mengorganisir buruh sepanjang masa reformasi sampai tahun 2002. Di bawah tekanan kekerasan, intimidasi, dan penyuapan, sebagian besar keberhasilan ini pun hancur. Namun demikian, masih banyak serikat petani dan LSM yang–entah bagaimana–peduli pada petani. Mereka menawarkan pelatihan mengenai metode-metode pertanian yang disempurnakan; mereka mengorganisir kampanye publik dan bantuan hukum dalam kasus-kasus konflik. Praktis tidak ada yang peduli pada buruh perkebunan – selain satu kekecualian yang luar biasa, yaitu KPS di Medan.


Bahkan setelah jam-jam kerja yang panjang pun upah para buruh harian itu terlalu rendah untuk bisa makan dan menyekolahkan anak-anak mereka, kendatipun kedua orang tua–dan dalam banyak kasus anak-anaknya juga–bekerja di perkebunan. Mereka berusaha bertahan hidup dengan mengolah pertanian berskala kecil, dengan bergantung pada saling bantu sesama tetangga, dan dengan meminjam uang dari lintah darat. Anak-anak mereka tidak punya peluang untuk melanjutkan pendidikan setelah sekolah dasar.


Para petani kecil tersebut tahu tentang semua ini dan mereka juga tahu bahwa corak hidup dan kerja mereka tak akan bisa bertahan untuk jangka panjang, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa banyak orang muda telah meninggalkan perdesaan. Mereka berjuang menuntut hak-haknya, berjuang menuntut ganti rugi yang layak, berjuang melawan pemiskinan yang lebih parah. Pada akhirnya, mereka berjuang untuk menolak menjadi buruh tani. Kenyataan bahwa kejadian-kejadian di perdesaan jarang sekali diketahui masyarakat di perkotaan membuat perjuangan-perjuangan di perdesaan cenderung dihadapi secara brutal. Polisi dan preman yang disewa oleh perkebunan-perkebunan bertindak dengan kekerasan brutal; para petani melawan dengan kegigihan, keberanian dan militansi besar, jarang sekali takut akan konfrontasi. Perjuangan-perjuangan mereka kini merupakan konflik sosial terpenting di Indonesia.


Kelak akan menjadi jelas apakah perjuangan mereka akan menginspirasi para buruh tani dan apakah sebuah gerakan baru buruh perdesaan dan petani bisa muncul – sebuah gerakan revolusioner baru di perdesaan yang menyalakan kembali perjuangan-perjuangan historis masa lalu di Indonesia. Meskipun kepentingan buruh tani dan kepentingan petani tidak persis sama, ruang hidup dan pengalaman mereka serupa dan bertumpang-tindih. Masih perlu jalan panjang sampai bisa terjadi situasi seperti di Madagascar tahun 2009, yakni ketika pemerintah ditumbangkan setelah mereka menyewakan separuh dari total lahan subur di negeri itu kepada Daewoo.

 

Wildcat No.90. Summer 2011


Daftar Pustaka

Onghokham: Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah; in: S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Ed.), Dua Abad Penguasaan Tanah, Jakarta 2008
Kano: Hiroyoshi Kano, Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad XIX; in: S.M.P. Tjondronegoro a.a.O.
FMN: Front Mahasiwsa Nasional, Monopoli Atas Kepemilikan Tanah dan Perampasan Tanah Kaum Tani Menyebabkan Buta Aksara di Pedesaan Begitu Tinggi, 2010 (http://bandungmelawan.wordpress.com/2010/10/02/monopoli atas kepemilikan tanah dan perampasan tanah kaum tani menyebabkan buta aksara di pedesaan begitu tinggi/), Stand 7.7.11
Situmorang1:Maginar Situmorang, Strengthening Peasant and Plantation Workers Movement in North Sumatra, 27.11.10
Vlekke: Bernhard H.M. Vlekke, Nusantara - Sejarah Indonesia, 1961 / Jakarta 2008
Mustain: Dr. Mustain, Petani vs Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegmoni Negara, Jogjakarta 2007
Dunia Dalam XX 2009: Dunia Dalam, Journal of Konsortium Pembaruan Agraria
Protes!- dari Buruh untuk Keadilan, Journal of the group KPS in Medan, 3-4/2010
Situmorang2: Dr. Manginar Situmorang (Ed.), Buruh Harian Lepas, Studi Kajian Hubungan Kerja, Upah dan Kesejahteraan di Perkebunan Sumatera Utara, KPS, Medan, 2008



1Untuk menghindari salah kaprah yang sangat sering terjadi: basis sistem ini adalah keluarga inti. Seorang lelaki dianggap memenuhi syarat dan harus membayar pajak per orangan begitu dia menikah.

2Ini berlaku di Pulau Jawa. Di pulau-pulau lain, ada juga bentuk-bentuk feodalisme lainnya, sampai dengan bentuk-bentuk perbudakan yang khas di Sulawesi Selatan. Penelitian tentang sejarah di luar Jawa kini masih dalam tahap-tahap awal.


Home, Index Asia, Daily Asia News

A webpage of WELT IN UMWAeLZUNG (World in Radical Change) Mannheim-Ludwigshafen, Germany

November 2011